Faskes Makin Lengkap, Mengapa Pasien Jantung Koroner Sulit Ditolong?

LAMPUNG SEGALOW (19/2) – Penyakit jantung koroner menjadi salah satu penyakit tidak menular yang cukup mematikan. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, mencatat penyakit jantung koroner sebagai penyebab kematian paling banyak setelah stroke dan hipertensi. Jantung koroner termasuk dalam 10 besar penyakit tidak menular terbanyak pada tahun 2018 yakni sebanyak 3.910 kasus.

Padahal, menurut perwakilan Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiolovaskular Indonesia (PERKI), dr. Ade Median Hambari, SpJP, angka kematian ini bisa ditekan, jika pasien mendapatkan pertolongan dengan segera. Untuk waktu penanganan di fasilitas kesehatan sendiri, Ade mengungkapkan, bahwa tatalaksananya kini semakin meningkat. 

“Rekomendasi waktu sejak diagnosis hingga memperoleh pertolongan terapi repetfusi (rusaknya jaringan) bagi pasien yang datang ke RS yang mampu memberikan pelayanan Intervensi Koroner Primer (IKP) adalah 90 menit,” ungkap Ade saat dijumpai di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Senin, 18 Februari 2019. 

Sedangkan bagi pasien yang datang ke RS yang tidak mampu memberikan layanan IKP, yang kemudian ditransfer RS lainnya yang mampu memberikan layanan IKP guna memperoleh terapi reperfusi direkomendasikan dalam rentang waktu 120 menit. Lantas, mengapa pasien masih sering sulit tertolong?

“Dari sudut pandang tata laksana penanganan Sindrom Koroner Akut (SKA), terdapat fenomena keterlambatan diagnosa pasien di mana kesadaran masyarakat untuk mengenali gejala awal dan berkonsultasi kepada tenaga medis diperlukan untuk meningkatkan keberhasilan proses penyembuhan,” ungkap Ade. 

Ditemui di tempat yang sama dr. Dafsah A Juzar, SpJP(K), juga mengatakan, bahwa rendahnya pemahaman pasien akan gejala awal serangan jantung tercermin pada data laporan program ISTEMI (Indonesia ST Elevated Myocardial Infracrion yang dilakukan oleh PERKI di Jakarta Barat dan sekitamya. 

“Sehingga pasien SKA memerlukan waktu lebih dari 4,5 jam untuk mencapai fasilitas kesehatan yang memiliki kemampuan reperfusi. Semakin lama keterlambatan pasien mendapatkan reperfusi, angka mortalitas pun semakin tinggi,” ungkap Dafsah. 

Sebab itu kini tengah dikembangkan Program HEBAT (HEarlBeATs) Indonesia untuk mencegah kematian pada pasien yang mengalami serangan jantung. 

Implementasi program ini akan mulai dilakukan pada tahun ini secara bertahap, dimulal dengan studi formatif yang diperkirakan berlangsung selama enam bulan. Sehingga ke depannya akan dipertimbangkan untuk dilanjutkan dengan program intervensi sesuai dengan hasil studi formatif. (fin) (LS/RF)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *