10 September 2024

Ini 5 Trik Penjualan yang Sering Dilakukan Label Fesyen

Ini 5 Trik Penjualan yang Sering Dilakukan Label Fesyen

LAMPUNG SEGALOW (9/4) – Dunia fesyen yang glamor memang menarik karena hanya segelintir orang yang bisa memilikinya. Selain kualitas dan desain yang eksklusif, produk tersebut bisa tetap laris karena menjadi simbol status.

Pakaian keluaran rumah mode adalah barang mewah yang tidak dijual melalui logika, melainkan emosi. Misalnya, kita tak membutuhkan jaket Dior seharga 50 juta rupiah, namun kita tetap membelinya karena tertarik dengan model dan citranya.

Berikut adalah beberapa trik yang sering dipakai barang-barang branded dalam memasarkan produknya.

1. Pakaian tidak dibuat sesuai label yang tertera

Kita mungkin berpikir label bertuliskan “Made in Switzerland” di arloji kita benar-benar dibuat di Swiss atau label “Made in Italy” di sepatu memang menunjukan lokasi pembuatannya.

Sayangnya, apa yang tertera dalam label belum tentu sesuai dengan kenyataan, apalagi ada aturan pemerintah yang ingin melindungi industri dalam negeri dan memungkinkan persaingan dalam hal harga.

Di Eropa, label negara asal secara umum hanya menunjukan pemrosesan substansial terakhir yang dibenarkan secara ekonomi telah dibuat di negara pada label yang tertera.

Berdasarkan laporan Guardian, sepatu produk Louis Vuitton hanya hanya proses penjahitan akhir saja yang dilakukan di Italia. Untuk pembuatan sol, itu dilakukan di Rumania.

Hal yang sama berlaku untuk perusahaan sneaker ‘Inggris’, di mana bagian atas sepatu atau uppers dikerjakan di Cina kemudian penjahitan sol dilakukan di Inggris.

Barang-barang kulit sangat tidak mungkin dibuat seluruhnya di negara asalnya, karena sebagian besar produksi kulit dilakukan di negara berkembang.

“Banyak dari produksi kulit mewah berasal dari sumber yang sangat buruk,” kata Orsola de Castro, salah satu pendiri Fashion Revolution.

Jauh lebih mudah untuk mengimpor bahan pembuatan item fesyen berbasis kulit, lalu menjahitnya di Italia dan memberi label “Made in Italy” pada item tersebut.

Sampai 2017, arloji dengan label buatan Swiss, yang konon terkenal sebagai negara penghasil jam tangan mewah, juga disalah gunakan.

Meski di klaim sebagai buatan Swiss, semua yang ada di arloji itu bisa saja dibuat di luar negeri. Anda hanya membutuhkan seseorang dari Swiss untuk melakukan pemeriksaan kualitas akhir.

Baca Juga:   Makanan Ini Membantu Meningkatkan Tinggi Badan Anak

Untunglah saat ini peraturannya sedikit lebih ketat, di mana 60 persen dari biaya komponen harus dikeluarkan di Swiss.

Tapi, masih ada kemungkinan sparepart tertentu dalam jam berlabel buatan Swiss dibuat dari India. Menurut Credit Suisse, teknik ini bisa mningkatkan harga hingga 112 persen.

2. Produksi yang tidak etis

Rantai pasokan fesyen bersifat global dan hampir tidak mungkin berbelit-belit. Terutama dalam fast fashion, yang bergantung pada perputaran singkat tren, mungkin sulit untuk mengetahui dengan tepat di mana produk tertentu sedang dibuat.

Di negara-negara dengan upah rendah seperti Bangladesh, Vietnam dan Kamboja, biaya marjinal yang diperoleh pabrik pada setiap item sangat kecil.

Ini membuat produsen merasa tidak dapat menolak pesanan, bahkan ketika tenggat waktu yang ditentukan sangat tidak layak.

Solusinya adalah menerapkan sistem sub-kontrak, di mana pabrik yang ditugaskan oleh merek fashion dari negara barat akan melakukan outsourcing sebagian pekerjaan ke pabrik lain.

Pabrik pertama umumnya akan diperiksa oleh merek fesyen pemberi project untuk memastikan memenuhi standar etika yang mereka klaim dalam pemasaran mereka.

Tetapi pabrik kedua, yang harus mengeluarkan biaya tenaga kerja yang lebih murah untuk membuat outsourcing layak secara ekonomi, sering kali tidak memenuhi standar etika.

Hal ini bisa jadi penyebab label sekelas Benetton dan Mango berakhir di puing-puing pabrik Rana Plaza yang runtuh pada 2013, meskipun merek tersebut mengklaim pabrik tersebut bukan pemasok.

Bahkan ketika produk sepenuhnya dibuat di negara asal yang diklaim, itu tidak menjamin kualitas yang lebih tinggi.

The Financial Times menemukan di beberapa pabrik di Leicester, Inggris, para pekerja dibayar secara signifikan kurang dari upah minimum untuk membuat pakaian dengan merek seperti Missguided.

Menurut sebuah penyelidikan di New Yorker, banyak merek desainer menggunakan pabrik-pabrik yang dikelola China untuk membuat produk tiruan khas Italia.

Menurut de Castro, merek-merek dengan label ‘Made in Italy’ juga diproduksi dengan sistem sub-kontrak, di mana para pekerja yang hanya dibayar 1 pondsterling atau Rp 18 ribu perhari.

Baca Juga:   Rendahnya Produksi Beras Nasional Berpotensi Tingkatkan Impor

3. Harga tinggi tak menjamin kualitas

Harga yang tinggi tak selalu menjamin kualitas produk. Namun, dalam pikiran konsumen telah terpatri anggapan bahwa harga tinggi selalu terkait dengan kemewahan dalam cara produksi dan kualitas. Bagi de Castro, ini berjalan seiring dengan offshoring dari manufaktur fesyen.

“Sudah ada pemindahan keseluruhan industri dari negara maju ke negara-negara berkembang,” katanya.

Ini berarti konsumen tidak bisa mengetahui pasti bagaimana pakaian dibuat atau apakah pakaian itu dibuat dengan baik.

Menurutnya, ini adalah cara yang licik agar konsumen tak mengetahui proses yang terjadi.

“Di Hong Kong, barang-barang yang diletakan di etalase toko Gucci dan Marc Jacobs, dan Prada, memiliki kualitas produk yang dibuat dengan buruk,” kata de Castro.

Itu sebabnya kita perlu berhati-hati dalam membeli barang.

Seiring dengan berkembangnya industri fesyen, merek-merek besar berupaya memangkas biaya sambil meningkatkan harga, untuk meningkatkan biaya margin.

Tren ini dimulai dengan lini kedua sebuah merk (seperti Prada Miu Miu, atau Versace Versus) yang pada awalnya merupakan cara bagi merek untuk menciptakan produk yang lebih mudah diakses untuk memperluas pasar mereka.

“Mereka dengan cepat menjadi sama mahalnya dengan merek utama tetapi masih dengan manufaktur murah,” ucap de Castro.

4. Tidak ramah lingkungan

Ketika dunia sadar jika industri fesyen berpengaruh besar pada kerusakan lingkungan, para raksasa industri telah berusaha untuk menciptakan image sebagai produsen penghasik produk ramah lingkungan.

Tetapi langkah-langkah yang menarik perhatian ini seringkali hanya sebuah ilusi. Mereka menghasilkan koleksi, yang diklaim terbuat dari plastik daur ulang. Namun, masih menggunakan jutaan galon air untuk membuat pakaian dari kapas murah.

Mereka juga mendorong pelanggan untuk mengembalikan pakaian mereka ke toko untuk didaur ulang, kemudian memberi mereka voucher, yang hanya mendorong konsumen untuk membeli lebih banyak pakaian baru.

Memastikan bagaimana produk itu dibuat sangat sulit. Orang-orang muda khususnya, yang kini lebih tertarik dengan dunia mode, memiliki sedikit gagasan tentang kualitas dan asal usul pakaian mereka.

“Kita perlu menanamkan kemampuan ini untuk generasi saat ini,” ucapnya.

Baca Juga:   Tips Memasak Makanan Sehat Praktis untuk Milenial

De Costra menyamakan momen ini dengan momen ketika kita sebagai konsumen, pertama kali mulai mempertanyakan makanan kita dan bagaimana makanan itu dibuat dan apa pengaruhnya terhadap kesehatan kita.

“Kaus hasil produk dari fast fesyen hanya tertulis “100 persen cotton” atau terbuat dari 100 persen bahan katun. Tapi, kita tidak tahu apakah itu bagaimana teknik pembuatan, atau berasal dari tanaman apa bahan yang digunakan dalam pembuatannya,” katanya.

5. Beberapa merek fesyen hanya sebuah merek dagang

Beberapa label fesyen bukan berasal dari clothing brand dan hanyalah sebuah merek dagang.

Khusus untuk rumah mode mewah kelas atas, penghasil pendapatan terbesar bukanlah kemeja dan pakaian yang mereka kirimkan di catwalk, tetapi wewangian, tas, dan bahkan casing ponsel yang turut dijual sebagai koleksi.

Demna Gvasalia, direktur kreatif di Balenciaga dan salah satu pendiri Vetements, mengatakan sebagian besar produk pakaian bahkan tidak diproduksi dan karena itu tidak dijual di toko.

Semua itu hanya menjual mimpi yang pada akhirnya pendapatan tetap hanya diperoleh dari penjualan parfum atau dompet di toko bebas pajak.

Penelitian dari BNP Paribas dan konsultan VR Fashion Luxury Expertise menemukan, koleksi siap pakai atau ready to wear pada dasarnya merupakan biaya pemasaran.

Label kehilangan uang pada produksi pakaian, tetapi pendapatan kembali diperoleh dengan penjualan koleksi yang lain.

Menurut peneliti, eksposur yang tinggi adalah kelemahan struktural dari produksi fesyen ready to wear siap pakai.

Dalam kasus label Prada dan Hermes, misalnya, penjualan pakaian hanya menghasilkan laba sekitar 10 persen dari penjualan.

Fenomena ini hanya membuat konsumen sebagai perpanjangan dari pemasaran merek, terutama di dunia dengan masyarakat yang sangat memuja logo merek.

Ketika kita mengenakan hoodie dari Louis Vuitton yang dirancang Virgil Abloh, atau mantel Balenciaga, kita telah berperan sebagai “papan iklan” berjalan untuk membantu penjualan tas dan parfum kepada pelanggang yang benar-benar memberikan uang untuk label tersebut.

 (LS/RF)

 819 kali dilihat,  2 kali dilihat hari ini

Tags: , , , , , , , , , , , ,
banner 468x60

No Responses

Tinggalkan Balasan