Inilah Lampung

LAMPUNG SEGALOW – POLITIK di Lampung sedang seru-serunya. Fanatisme pendukung dari empat pasang calon gubernur  diperlihatkan di mana-mana. Termasuk di media sosial.

Potensi konflik sosial bisa kita tengarai melalui aksi dan reaksi para pendukung masing-masing kandidat, baik melalui media sosial maupun media elektronik dan cetak.

Interaksi sosial mereka berangkat dari fanatisme dukungan secara berlebihan. Fanatisme ini diikuti kecurigaan satu sama lain, termasuk pemberian label kurang baik bagi pasangan kandidat lawan. Perang fitnah terjadi dan ternyata mampu memancing keberingasan sosial.

Sebagai instrumen demokrasi, pemilihan kepala daerah sejatinya adalah konflik yang dilembagakan lantaran persaingan untuk memenangi pertarungan.

Untuk memenangi pertarungan, para kandidat perlu menggalang dukungan. Masalahnya, bagaimana konflik yang dilembagakan ini bisa dikelola dengan baik?

Sejumlah aturan sudah dibuat oleh KPU. Para pelanggar diancam sanksi oleh Bawaslu. Tetapi, peraturan yang dibuat oleh KPU dan ancaman sanksi yang dimiliki Bawaslu itu berlaku sebatas pada kandidat dan tim suksesnya.

Bagaimana dengan para pendukungnya? Ini wilayah kepolisian.

Masalahnya, bagaimana ketika interaksi sosial negatif para pendukung itu terjadi begitu terbuka dan meluas? Mengingat masyarakat di Lampung terdiri atas berbagai latar suku dengan aneka kulturnya, mengatasi konflik hanya dengan menggunakan pendekatan kepolisian tentu tidaklah cukup.

Kepolisian terkesan hanya berorientasi pada penanganan kekerasan dalam proses pemilu. Simulasi yang dilakukan kepolisian, misalnya, hanya sebatas penanganan kekerasan dalam hal unjuk rasa dan kekerasan.

Untuk menghindari konflik sosial, baik KPU maupun Bawaslu menggelar deklarasi damai yang diikuti oleh para perwakilan elite peserta pemilihan gubernur.

Namun, itu bersifat normatif. Deklarasi hanya berupa pembacaan pernyataan. Tidak ada upaya konkret untuk mencegah konflik. Sehingga, tidak ada jaminan pilgub bisa damai.

Deklarasi damai adalah satu hal, doktrin untuk mendapatkan suara sebanyak-banyaknya adalah hal lain. Doktrin mencari suara sebanyak mungkin itulah yang kemudian melahirkan cara-cara yang dapat mengancam perdamaian.

Di sinilah pentingnya kita memiliki tata kelola konflik pemilu secara terpadu. UU Pemilu seyogianya tidak hanya mengatur teknis pelaksanaan pemilu, tapi juga dengan sadar mencantumkan secara detail hal-hal yang berkaitan dengan upaya untuk menciptakan pemilu damai.

Bahwa pemilu damai sesungguhnya tak cukup dengan menyelenggarakan deklarasi damai, tapi juga perlunya pendidikan politik bagi masyarakat yang terkaver dalam undang-undang sebagai rujukan untuk membangun sistem dan praktik politik yang multikultural.

Dengan begitu, semua yang memacu konflik atau yang berpotensi terhadapnya bisa dihindari. (Riko Firmansyah)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *