BANDARLAMPUNG LAMPUNG SEGALOW – Jika sebelumnya beberapa tokoh agama di Lampung mendesak lembaga penyelenggara pemilu—Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU)—untuk mengusut tuntas dugaan politik uang dari pasangan calon (paslon) nomor urut tiga Arinal Djunaidi – Chusnunia Chalim di pilgub 27 Juni 2018 lalu. Kali ini beberapa tokoh agama menilai politik uang dikhawatirkan akan merusak moral masyarakat di Bumi Ruwa Jurai.
Ketua Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Lampung Kristia Prihanto menyampaikan bahwa politik uang untuk mendapatkan kekuasaan dengan menghalalkan segala cara akan merusak moral masyarakat, penyesatan arah politik, dan memberi contoh suri tauladan yang buruk.
“Saya kurang setuju dengan politik uang yang kotor. Tetapi justru kotornya politik itu dibuat oleh orang yang ingin berkuasa dan haus kekuasaan dengan menganggap dan menempatkan masyarakat itu mudah dibodohi dengan uang. Bayangkan saja jika satu orang diberi uang sebesar Rp50 ribu untuk kepemimpinan lima tahun ke depan. Berarti perhari, berapa rupiah yang diterima oleh masyarakat setelah menjual suaranya untuk memilih calon pemimpin,” kata Kristia, Kamis (5/7/2018).
Dampak yang bakal diterima masyarakat dengan menjual suaranya untuk calon pemimpin terpilih, maka kekuasaan untuk lima tahun ke depan ini sudah menjadi milik penguasa tersebut.
Ia mencontohkan, ketika seseorang membeli barang, berarti barang tersebut sudah didapatkan. Jadi ketika seseorang membeli kekuasaan, berarti orang itu sudah mendapat kuasa.
“Ketika kontrak jual beli itu sudah selesai saat membeli suara dari masyarakat dengan membayar didepan. Ke depan pemimpin itu sudah tidak ada urusan lagi dengan masyarakat. Jadi lima tahun kedepan sudah menjadi milik penguasa dan bukan milik rakyat lagi,”ucapnya.
Ia berharap, lembaga penyelanggara pemilu dapat bekerja berdasarkan Undang-Undang (UU) tentang pelaksanaan pemilu untuk mengarahkan masyarakat ke arah politik yang lebih bermoral demi kesejahteraan masyarakat setempat
“Ketika UU itu dibuat, maka harus ditaati. Kalau perlu tindakan hukum dengan adanya bukti-bukti, ya lakukan,”ucapnya.
Sementara itu, Ketua Majelis Buddhayana Indonesia (MBI) Bandarlampung Petrus Paulus menyampaikan bahwa politik uang menyebabkan sistim demokrasi masyarakat Lampung tidak akan berjalan dengan baik. “Jadi siapapun yang memiliki dana besar, maka dia yang akan mengatur,” ucapnya.
Jika sosok pemimpin lahir dari politik uang dikhawatirkan akan berdampak di pemerintahan dengan mengedepankan kepentingan penyokong dana tersebut dan mengesampingkan rakyat.
”Akan adanya politik balas budi sehingga roda pemerintahan tidak bisa berjalan baik. Karena pemimpin itu akan mengutamakan mengembalikan modal yang sudah dikeluarkan,”ucapnya.
Kendati demikian, jika Lampung bersih dari politik uang, ia meyakini kedepan Lampung akan menjadi provinsi yang luar biasa dengan melimpahnya Sumber Daya Alam (SDA) yang berpotensi untuk dikembangkan.
“Kalau sistim pemerintahan dimulai dengan jujur dan bersih, maka roda pemerintahan pun akan berjalan dengan baik,”ujarnya.
Ia berharap, para penyelenggara pemilu bisa mengusut tuntas dugaan politik uang tersebut. “Kalau sudah terbukti bersalah adanya money poklitik, maka dengan tegas harus diproses secara hukum agar masyarakat bisa belajar berpolitik dengan baik dan sistim pemerintahan bisa berjalan tanpa adanya tekanan dari siapapun,”ucapnya.
Pimpinan Pondok Pesantren Darul Ulum, Lampung Timur, KH Ahmad Mudjab Khariruddin mengatakan bahwa sosok pemimpin yang dilahirkan dari politik uang akan bertindak semena-mena terhadap masyarakat. Karena, sebagian orang menganggap bahwa kursi pemimpin merupakan jabatan basah untuk memperkaya diri sendiri.
“Sehingga sebagian orang berlomba-lomba menghalalkan segala cara mendapatkan jabatan itu demi memperkaya diri sendiri. Siapa saja kalau ingin menjadi pemimpin dari kinerja yang tidak benar, maka bisa jadi hasilnya juga tidak akan benar,”ucapnya.
Ia menilai politik uang di mata agama dan hukum itu tidak dibenarkan. Karena, hal ini termaksud dalam suap.
“Setahu saya ini tidak diperbolehkan, jika ada orang memberi sejumlah uang dengan mengarahkan agar memilih ke salah satu calon. Kecuali ada tim berkerja untuk mencari masa. Kemudian, dibantu biaya transportasi. Ini tidak masalah, namanya orang bekerja,”katanya.
Ketua Komisi Hubungan Antar Agama Dan Kepercayaan Keuskupan Tanjung Karang Romo Roy mengatakan bahwa melakukan money politik baik dari sisi moral dan agama itu tidak dibenarkan.
Karena money politik telah melanggar prinsip keadilan. ”Dampak yang diterima dapat membuat masyarakat menjadi malas bekerja dan mengurangi daya kurang berfikir untuk kedepan,”ujarnya.
Money politik itu bukan warisan atau budaya masyarakat Lampung. Tetapi dari suatu karakter persorangan yang menghalalkan segala cara dengan mengiming-imingi masyarakat dengan uang demi menggapai kekuasaan.
“Kita mengkhawatirkan, jika sosok pemimpin lahir melalui money politik, maka melalui kekuasaan itu bisa menjadi suatu jembatan untuk memenuhi keinginan dirinya sendiri,” tegasnya.(*)